Conceptis an abstraction of an idea or mental image, which is expressed in a word or symbol, the concept is also expressed as part of knowledge built from various characteristics. Doctrine is everything that is taught; advice; The teachings of Abu Yazid were the first Sufi to carry the teachings of al-fana, al-baqa, and ittihad, which is a teaching on the concept of nullifying oneself (body † Aeroplan flight bookings are currently only available on the Canadian point of sale. Learn Canada FlightsFlights to LebanonToronto - BeirutFly now between Toronto and Beirut01Th02Fr03Sa04Su05Mo06Tu07We08Th09Fr10Sa11Su12Mo13Tu14We15Th16Fr17Sa18Su19Mo20Tu21We22Th23Fr24Sa25Su26Mo27Tu28We29Th30Fr*Fares displayed have been collected within the last 48hrs and may no longer be available at time of booking. Learn more about this offer. Additional baggage fees and charges for optional products and services may apply.

AbuYazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H - 261 H/874 - 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memelukIslam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.

ArticlePDF Available AbstractMany researchers believe that the philosophical Sufism tradition in Islam only emerged in the sixth century Hijriah. Is that right? If it is explored in more depth, it will soon be found that this is not quite right because long before that, in the Islamic tradition there were already some thoughts of Sufism that tended to lead to philosophical Sufism. Among the philosophical ideas of Sufism that were born in this early period were mahabbah, Ilahiyyah, fana', ittihad, and Hulul. Therefore, in this paper the author tries to describe the initial philosophical Sufism thought contained in the thoughts of three Sufi figures, namely Rabi'ah al-'Adawiyyah, alBustami, and al-Hallaj. By presenting the philosophical Sufism thought that exists in their works, this article shows that the philosophical Sufism tradition in Islam has emerged long before the sixth century Hijriah, as is often believed by many circles. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWALRABI’AH ALADAWIYYAH, ALBUSTAMĪ, DAN ALHALLAJMubaidi SulaemanUniversitas Islam Balitar Blitar Jawa Timurabid3011 researchers believe that the philosophical Susm tradition in Islam only emerged in the sixth century Hijriah. Is that right? If it is explored in more depth, it will soon be found that this is not quite right because long before that, in the Islamic tradition there were already some thoughts of Susm that tended to lead to philosophical Susm. Among the philosophical ideas of Susm that were born in this early period were mahabbah, Ilahiyyah, fana', ittihad, and Hulul. erefore, in this paper the author tries to describe the initial philosophical Susm thought contained in the thoughts of three Su gures, namely Rabi'ah al-'Adawiyyah, al-Bustami, and al-Hallaj. By presenting the philosophical Susm thought that exists in their works, this article shows that the philosophical Susm tradition in Islam has emerged long before the sixth century Hijriah, as is oen believed by many Philosophical susm, Rabi’ah al-Adawiyyah, al-Bustami, al-HallajAbstrakBanyak peneliti meyakini bahwa tradisi tasawuf falsa dalam Islam itu baru muncul pada abad ke-6 H. Namun, jika ditelusuri secara lebih lanjut akan segera didapati bahwa hal itu kurang tepat, sebab jauh sebelum itu dalam tradisi Islam sudah dijumpai beberapa pemikiran tasawuf yang cenderung mengarah pada gagasan tasawuf falsa. Di antara pemikiran tasawuf falsa yang lahir pada masa awal ini adalah mahabbah Ilahiyyah, fana’, ittihad, dan hulul. Oleh karena itu, dalam tulisan ini peneliti mencoba untuk mendeskripsikan pemikiran tasawuf ISSN 1141-9951 p 2548-4745 e Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol. 20, No. 1 Januari 2020, hlm. Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam is licensed under a Creative Commons Attribution-Non Commercial-Share Alike International License. 2Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANfalsa tahap awal yang terdapat dalam pemikiran tiga orang tokoh su, yaitu Rabi’ah al-Adawiyyah, al-Bustami, dan al-Hallaj. Dengan mengungkap pemikiran tasawuf losos yang ada dalam karya-karya mereka, artikel ini menunjukkan bahwa tradisi tasawuf falsa dalam Islam itu sudah muncul jauh sebelum abad ke-6 H sebagaimana yang sering diyakini banyak kunci Tasawuf falsa, Rabi’ah al-Adawiyyah, al-Bustami, al-HallajA. PendahuluanDalam dunia tasawuf terdapat dua kutub aliran yang bisa dikatakan tidak bisa bertemu satu dengan yang lain, yaitu tasawuf Sunni dan tasawuf falsa. Ke-duanya memiliki pemahaman yang berbeda. Tasawuf Sunni merupakan aliran tasawuf moderat dengan ciri khas selalu merujuk pada nash al-Qur’an dan Hadis. Adapun yang dimaksud dengan tasawuf falsa adalah tasawuf yang mengga-bungkan rasa sustik dengan pandangan lain yang sifatnya sejarawan berkeyakinan bahwa tasawuf falsa ini mulai muncul pada abad ke-6 dan ke-7 H, khususnya setelah munculnya seorang su agung Muhyi al-Din ibn Arabi w. 638 H. Akan tetapi, Ibrahim Muhammad Yasin menduga bahwa cikal bakal tasawuf falsa itu sudah ada pada abad pertama dan ke-2 H yang dipelopori para zahid Bashrah seperti Rabi’ah al-Adawiyyah yang terkenal dengan syair cinta Tuhannya. Selain itu Ibrahim Muhammad Yasin juga mema-sukkan nama seperti Hasan al-Basri w. 110 H dan Malik bin Dinar w. 130 H.2Adanya penggabungan antara ajaran tasawuf dan lsafat dengan sendirinya telah membuat ajaran tasawuf falsa bercampur dengan ajaran lsafat di luar Islam seperti Yunani, Persia, dan India. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Terbukti dengan masih dipertahankannya fase-fase tasawuf yang dikenal dalam tasawuf Sunni penulis, adanya percampuran antara tasawuf dan lsafat tampaknya wajar. Sebab pada masa itu gerakan penerjemahan buku-buku lsafat Yunani sedang gencar-gencarnya. Filsafat yang berkembang pada waktu itu otomatis sedikit banyak telah mempengaruhi jalan pikiran kaum su tersebut. Di antara corak utama yang tampak pada ajaran tasawuf falsa adalah adanya kondisi 1 Ibrahim Muhammad Yasin, Al-Madkhal ila Tasawwuf al-Falsa Kuwait Muntada Sur al-Azbakiyyah, 2002, Ibid. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ3Vol. 20, No. 1, Januari 2020majdhub dan fana’ yang ditandai dengan keluarnya shatahat dari mulut para su, dan ide mistik yang sulit diterima oleh kalangan Sebut saja konsep mahabbah Ilahiyah, ittihad, hulul, dan wihdah al-wujud, semuanya itu adalah konsep ajaran yang sangat sukar dipahami. B. Rabi’ah al-Adawiyyah w. 185 H1. Biogra Singkat Rabi’ah al-AdawiyyahNama asli Rabi’ah al-Adawiyyah adalah Umm al-Khair bin Isma’il4 al-Ada-wiyyah al-Qaisiyyah. Lahir di Basrah pada sekitar tahun 95 H 717 M.5 Julukan Rabi’ah didapat karena ia adalah anak keempat. Rabi’ah berasal dari keluarga yang serba kekurangan. Bahkan, diceritakan pada saat malam kelahiran Rabi’ah, tak ada satu pun cahaya penerangan di rumahnya dan tak ada satu pun kain yang digunakan untuk ada juga sanak saudara yang membantu persalinan si ibu. Maksud hati Isma’il, ayah Rabi’ah, meminta bantuan kepada tetangganya, tetapi dirinya merasa malu sehingga ia terpaksa mengurungkan untuk meminta bantuan. Hal itu disebabkan Isma’il pernah berjanji untuk tidak meminta bantuan selain kepada Allah Swt. Melihat si istri yang semakin lama mengalami kepayahan, Isma’il pun bertekad melanggar janjinya itu. Ia lalu mengetuk pintu tetangga-nya untuk sekadar meminjam lampu minyak sebagai penerangan dan sepotong kain untuk membungkus anaknya yang akan lahir itu. Namun, tidak satu pun tetangganya yang membantu Isma’il karena semua masih terlelap tidur. Ia lalu berdoa supaya Allah Swt. agar persalinan istrinya dilancarkan, dan Rabi’ah pun lahir dengan selamat diselimuti suka cita dari kedua orang terhadap Rabi’ah yang kelak akan menjadi tokoh yang hebat sudah terlihat saat ia baru lahir. Pasca kelahiran Rabi’ah, ayahnya Isma’il ter- 3 Aun Falestien Falatehan, Tasawuf Falsa Persia di Masa Klasik Islam Surabaya Dakwah Digital Press, 2007, Abd al-Rahman Badawi meragukan Isma’il sebagai nama ayah Rabi’ah al-Adawiyah. Menurutnya Isma’il bukanlah nama ayah dari Rabi’ah al-Adawiyah melainkan nama ayah Rabi’ah yang lain, yaitu Rabi’ah istri dari Ahmada l-Hawari. Sedangkan nama ayah Rabi’ah al-Adawiyyah tak diketahui. Abd al-Rahman Badawi, Shahidah al-'Ishq al-Ilahi Rabi`ah al-'Adawiyyah, 2nd edition Kairo Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1962, Sururin, Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah, 2nd edition Jakarta PT. Raja Grando Persada, 2002, Farid al-Din Attar Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’ Markaz Tahqiqat, 2008, Muhammad Atiyyah Khamis, Rabi’ah al-’Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin Jakarta Pustaka Firdaus, 1994, 6. 4Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANtidur. Di dalam tidurnya tersebut Isma’il bermimpi bertemu Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Janganlah engkau bersedih hati, sebab nanti akan ada tujuh puluh ribu orang dari umatku akan ada dalam perlindungan dan syafaatnya.”8Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga religius yang sederhana penuh kezuhudan. Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar, tetapi yang menonjol ia tampak lebih cerdas dibandingkan teman-teman sebayanya. Selain itu, dalam dirinya juga tampak pancaran sinar ketakwaan dan ketaatan yang tak dimiliki oleh Perilaku Rabi’ah banyak tertular dari ayahnya yang religius. Rabi’ah selalu memperhatikan bagaimana ayahnya ber- ibadah kepada Allah Swt., seperti membaca al-Qur’an dan berzikir. Rabi’ah sangat suka belajar menghafal al-Qur’an. Apabila telah berhasil menghafalnya, ia duduk dan mengulangi kembali hafalannya itu dengan perasaan khusyuk untuk men-dapatkan pemahaman yang Kebiasaannya menyendiri juga sudah tampak sejak kecil. Tidak jarang ayah-nya mendapatinya mengasingkan diri dengan muka muram, penuh kesedihan sembari bermunajat kepada Allah Swt, suatu perilaku yang bisa dibilang tidak wajar untuk anak kecil sepertinya. Tidak berselang lama, Rabi’ah pun ditinggal wafat oleh ayah dan ibunya. Kini ia hanya hidup bersama ketiga saudara perem-puannya. Tak ada harta yang ditinggalkan ayah maupun ibunya, kecuali hanya sebuah perahu dewasa, Rabi’ah menjadi seorang budak. Pada suatu masa ketika ter-jadi kekeringan hebat yang melanda Basrah, Rabi’ah dijual oleh majikannya yang zalim dengan harga enam dirham. Dengan pemilik baru, Rabi’ah semakin seng-sara karena ia dipekerjakan secara tidak wajar. Hingga pada suatu hari Rabi’ah melarikan diri dari majikannya, tetapi di tengah jalan ia mengurungkan niatnya itu setelah mendengar suara 8 Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Sururin, Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi, Khamis, Rabi’ah al-’Adawiyah, Ibid., Konon saat Rabi’ah lari dari majikannya, ia terjatuh dan tangannya terkilir sehingga ia tidak bisa bangkit. Lalu, ia berkata Saya ini orang yang lemah, hidup sendirian tanpa ayah dan ibu. Saya hidup di bawah kekangan orang zalim. Karenanya, tangan saya ini terkilir. Saya rela dengan semua ini, tapi apakah Engkau ridha kepadaku atau tidak? Lalu, Rabi’ah mendengar suara “Wahai Rabi’ah, janganlah kau bersedih, sebab kamu mempu-nyai kedudukan yang tinggi di hari kiamat yang membuat iri para penduduk langit.” Setelah mendengar suara tersebut, Rabi’ah pun pulang ke rumah majikannya. Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, 97. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ5Vol. 20, No. 1, Januari 2020Dikabarkan Rabi’ah dipekerjakan sebagai seorang Suatu malam si majikan terbangun dan mengintip di celah-celah pintu. Di sana majikan itu melihat Rabi’ah sedang bersujud sembari berdoa. Di sela-sela doa itu, majikan Rabi’ah melihat hal yang tidak biasa. Ia melihat lampu yang terbang dengan sendirinya di atas kepala Rabi’ah tanpa ada yang menggantungnya. Lampu itu menyinari seisi rumah. Melihat kejadian itu, si majikan ketakutan. Keesokan harinya, si majikan itu langsung memerdekakan Rabi’ banyak mengikuti majelis Hasan al-Basri. Di sana ia bertobat kemu-dian pergi mengasingkan diri di sebuah gua yang jauh dari jangkauan Selama hidupnya, Rabi’ah tidak pernah menikah, meskipun ia adalah seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-laki yang ingin Terdapat silang pendapat atas tahun wafatnya Rabi’ah, tetapi mayoritas ahli sejarah meyakini bahwa Rabi’ah wafat pada tahun 185 H di usia 90 tahun dan dimakamkan di kota kelahirannya, Pemikiran Tasawuf Rabi’ah al-AdawiyyahSebagaimana yang disampaikan oleh Ibrahim Ibrahim Muhammad Yasin, bahwa Rabi’ah al-Adawiyah termasuk su peletak dasar tasawuf falsa tahap awal sebelum kemudian berkembang pada abad keenam dan ketujuh melalui pionernya, yaitu Ibn Rabi’ah al-Adawiyah merupakan su perempuan yang terkenal dengan konsep mahabbah Ilahi-nya. Untuk mencapai tingkatan tertinggi sampai pada tingkat mahabbah dan makrifat, Rabi’ah menempuh ber-bagai jalan atau tingkatan sebagaimana para su lainnya. Meskipun demikian, Rabi’ah memiliki beberapa cara yang lain dengan beberapa su.19Tahap pertama yang harus dilalui seseorang, menurut Rabi’ah al-Adawiyah, adalah berlaku zuhud. Hal ini berbeda dengan kebanyakan su yang mengatakan bahwa tahap pertama adalah taubat. Meski demikian, Rabi’ah tidak menakan 13 Ibid., Badawi, Shahidah al-'Ishq al-Ilahi, Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Pernah pada suatu ketika Rabi’ah dilamar oleh seorang yang amat kaya raya bernama Muhammad Sulaiman al-Hashimi, seorang amir Basrah. Ia melamar Rabi’ah dengan mena-warkan mas kawin sebesar dirham, tetapi Rabi’ah menolaknya dengan mengatakan “Seandaiya Engkau memberi seluruh warisan hartamu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah padamu.” Khamis, Rabi’ah al-’Adawiyah, Sururin, Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi, 4518 Yasin, Al-Madkhal ila Tasawwuf al-Falsa, Sururin, Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi, 47 6Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANtaubat sebagai sesuatu yang harus dilakukan seseorang. Namun, bagi Rabi’ah, taubat orang yang melakukan maksiat itu berdasar pada kehendak Allah Cerita tentang kezuhudan Rabi’ah al-Adawiyah tercermin dari sikapnya yang menghindari yang kedua adalah Rida. Dengan usaha yang terus-menerus, Rabi’ah meningkatkan martabatnya dari tingkat zuhud hingga mencapai tingkat Jiwa yang Rida adalah jiwa yang luhur, menerima segala ketentuan Allah Swt., berbaik sangka pada tindakan dan Keputusan-Nya, serta meyakini  Tahap ketiga setelah Rida ialah Ihsan,23 yaitu melakukan ibadah seakan-akan dapat melihat Allah Swt., atau kalau tidak bisa setidaknya merasa bahwa dirinya dilihat oleh Allah Swt. Suatu saat Rabi’ah pernah ditanya “Kamu beribadah ke-pada Allah Swt., apakah kau dapat melihat-Nya?” ketika itu Rabi’ah menjawab “Kalau aku tak bisa melihat-Nya, tentu aku tak akan beribadah pada-Nya. Farid al-Din Attar kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melihat oleh Rabi’ah itu bukanlah melihat dengan mata tetapi melalui kasha Setelah ketiga tahapan itu dicapai, barulah seseorang bisa mencapai tahap mahabbah. Sebagaimana dikutip oleh Hamka, Mustafa Abd al-Raziq pernah berkata bahwa sebelum Rabi’ah, tasawuf itu masih bersifat sederhana. Belum ada metode atau tahapan-tahapan tertentu. Maka, tepat jika dikatakan Rabi’ah ini adalah guru bagi para su yang datang yang dikembangkan oleh Rabi’ah adalah mahabbah Ilahiyah cinta Ilahi nya. Rabi’ah sendiri, sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Atiyyah Khamis, telah memperluas makna atau lingkup mahabbah Ilahiyah-nya. Dahulu Rabi’ah mencintai Allah karena mengharapkan surga-Nya, atau karena takut neraka-Nya sehingga ia selalu berdoa “Ya Tuhan, apakah Engkau akan mem-bakar hamba-Mu di dalam neraka, yang hatinya terpaut pada-Mu, yang lidahnya selalu menyebut-Mu, dan hatinya selalu bertakwa pada-Mu?” Setelah menya-dari bahwa cinta yang seperti itu adalah cinta yang sangat sempit, ia kemudian 20 Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Diceritakan ketika kebun Rabi’ah diserang hama belalang hingga tanaman di kebunnya itu habis, ia menerimanya dengan tersenyum, sambil berdoa “Ya Tuhanku, rezeki datang dari-Mu, hama belalang tidak akan mengurangi atau merampas rezekiku sama sekali, semua adalah ketentuan dari-Mu juga”. Khamis, Rabi’ah Al-’Adawiyah, Ibid., 4823 Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Edisi ke-19 Jakarta PT. Pustaka Panjimas, 1994, 76. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ7Vol. 20, No. 1, Januari 2020meningkatkan cinta Allah dan mencintai Allah itu bukan karena apa-apa, karena memang Allah patut yang paling populer berkenaan dengan hal ini sebagaimana berikut      27      Artinya Ya Tuhan, jika aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, maka bakarlah aku dengan api neraka. Atau jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, maka haramkanlah surga atas diriku. Tetapi, jika aku beribadah kepada-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Kau tutup Keindahan Wajah-Mu. Cinta Rabi’ah kepada Allah Swt. adalah cinta yang tulus, dan bukan karena surga ataupun neraka. Bahkan suatu saat ketika Rabi’ah sakit, ia ditanya tentang sebab penyakitnya. Lalu, Rabi’ah menjawab bahwa penyebab sakitnya adalah karena tergoda oleh surga sehingga ia merasa dicela oleh Rabi’ah adalah orang pertama yang mampu membuat pembagian mahab-bah29 cinta sehingga lebih mendekat pada perasaan. Cinta menurut Rabi’ah ada dua macam, yaitu cinta karena dorongan hati belaka, dan cinta yang didorong karena hendak membesarkan dan mengagungkan. Rabi’ah mencintai Allah karena ia merasakan dan menyadari betapa besarnya nikmat dan kekuasaan-Nya, sehingga cintanya menguasai seluruh lubuk hatinya. Ia mencintai Allah karena hendak mengagungkan dan orang yang sedang dimabuk cinta, Rabi’ah sering kali mencipta-kan syair-syair cinta yang ditujukan kepada Allah Swt. Di antara syair cintanya yang terkenal adalah26 Khamis, Rabi’ah al-’Adawiyah, Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Abd al-Karim bin Hawazin bin Abd al-Malik al-Qushairi, Al-Risalah al-Qushairiyah, Vol. 2 Kairo Dar al-Ma’arif, Belakangan al-Sarraj membagi mahabbah menjadi tiga tingkatan, yaitu 1 Cinta biasa dengan selalu mengingat Tuhan dengan zikir; 2 Cinta orang yang siddiq dengan cara mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu; 3 Cinta orang yang arif. Cinta seperti ini timbul karena betul-betul telah tahu terhadap Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme dalam Islam Falsafat Islam - Mistisisme Islam - Tasawuf Jakarta Bulan Bintang, 2010, Khamis, Rabi’ah al-’Adawiyah, 62. 8Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMAN                          ArtinyaAku mencintai-Mu dengan dua cintaCinta karena hasrat diriku kepada-MuDan cinta karena hanya Engkau yang memilikinyaDengan cinta hasrat, aku selalu sibuk menyebut nama-MuDengan cinta karena diri-Mu saja, dan tidak yang lainKarena aku berharap Engkau singkapkan Tirai Wajah-MuAgar aku bisa menatap-MuTak ada puja-puji bagi yang ini atau yang ituSeluruh puja-puji hanya untuk-Mu sangat cintanya Rabi’ah kepada Allah Swt., hingga ia tidak merasa sedikit pun benci kepada setan, sebab di dalam hatinya sudah tak ada lagi ruang kosong yang tersisa untuk mencintai selain-Nya. Bahkan, suatu saat Rabi’ah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. Lalu, ia ditanya apakah Rabi’ah mencintai Rasulullah Saw.? Rabi’ah pun menjawab bahwa cintanya kepada Allah Swt. telah memalingkan cintanya maupun bencinya kepada landasan teologis konsep mahabbah ini, Nasution mengatakan bahwa konsep mahabbah ini mempunyai dasar yang kuat baik dari al-Qur’an maupun al-Hadis. Di antaranya QS. al-Ma’idah ayat 54, QS. Ali Imran ayat 31, serta hadis berikut    Artinya Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan per-buatan-perbuatan baik, hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata, dan tangan-Ku. 33Inilah jalan su yang ditempuh oleh Rabi’ah al-Adawiyah yang selalu ber-usaha mewujudkan ide tasawuf berupa konsep mahabbah Ilahiyah ini kepada 31 Badawi, Shahidah al-'Ishq al-Ilahi, Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 56. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ9Vol. 20, No. 1, Januari 2020generasi Muslim sesudahnya sehingga mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebagaimana diketahui bahwa kondisi masyarakat Basrah pada saat itu sedang terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah dan men-jauhi orang-orang yang mencintai Allah, serta menjauhi segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri pada Allah Swt. Dengan terangkat jiwanya, mereka menda-patkan kedudukan tinggi. Rabi’ah mendidik manusia dengan akhlak yang mulia dan mengajarkan pada manusia arti cinta Ilahi, bahkan tidak jarang menyenan-dungkannya dalam bentuk syair agar dapat membangkitkan minat mereka pada cinta Al-Bustami w. 261 H1. Biogra Singkat al-BustamiNama aslinya adalah Taifur bin Isa bin Surushan. Lahir di Bustam Persia dan meninggal pada tahun 261 Usianya sekitar 73 Jadi, diperkirakan ia lahir pada tahun 188 H. Ia adalah tiga bersaudara bersama dengan Adam dan Ali. Kakeknya seorang Majusi yang kemudian masuk Taifur lalu dikenal dengan nama al-Bustami, dengan menisbatkan kota kelahirannya. Terkadang di beberapa literatur Arab, nama al-Bustami ini disebut dengan nama adalah seorang pemuka masyarakat di Bistam sedangkan ibunya dikenal sebagai seorang zahid. Keanehan al-Bistami ini sudah nampak saat ia masih di kandungan. Saat di kandungan ia tidak mau menyerap nutrisi makanan yang subhat. Konon ia akan bergerak-gerak di dalam perut ibunya sampai ibunya itu memuntahkan makanan subhat sunya nampak mengalir dari orang tuanya. Sejak kecil, tepatnya pada saat al-Bustami masih berusia 10 tahun, ia sudah memantapkan diri untuk memilih jalan hidup sebagai su. Ia lalu meninggalkan kampung halamannya untuk berkelana ke berbagai tempat selama kurang lebih 30 tahun. Sebelum itu, pernah suatu saat ia sedang belajar al-Qur’an di sebuah kuttab. Ketika membaca QS. Luqman ayat 14, al-Bustami kecil meminta penjelasan kepada gurunya ter-34 Sururin, Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Ilahi, 5135 Ada juga yang mengatakan bahwa al-Bustami meninggal pada tahun 264 H. Hasan Mahmūd Shā'ī and Abū al-Yazīd Abū Zayd 'Ajamī, Fī al-Tasawwuf al-Islāmī, al-Tab'ah 1 Madīnat Nasr, al-Qāhirah Dār al-Salām, 2007, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Cet. ke-6 Jakarta Penerbit Universitas Indonesia, 1986, Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Ibid., 184. 10 Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANkait ayat tersebut. Setelah mendapati tafsirannya itu, al-Bustami kecil bergegas pulang dan menemui ibunya sembari berkata, “Pada hari ini saya membaca ayat ini, lalu saya mendapati diri saya tidak mampu jika harus memenuhi dua tugas itu berbakti kepada Allah dan orang tua, izinkanlah diriku untuk lebih ber- khidmat kepada Allah dan meninggalkan berkhidmat kepadamu agar saya lebih fokus berkhidmat pada Allah”. Ibunya pun merestui dan mempersilahkan al-Bus-tami kecil untuk lebih berkhidmat kepada Allah dibandingkan kepada dirinya. Lalu, al-Bustami kecil pergi menyusuri padang pasir sambil melakukan berguru kepada tidak kurang 113 guru. Salah satu gurunya ialah Imam Ja’far al-Shadiq w. 148 H.40 Menurut beberapa sumber, sebelum menjadi su, al-Bustami terlebih dahulu mempelajari kih mazhab Hana. Oleh sebab itu, ia digolongkan dalam ulama ahl al-ra’y—ulama yang memberikan porsi lebih kepada akal dalam memahami hukum usia 40 tahun, al-Bustami kembali ke tempat kelahirannya dan mulai memberikan pengajaran spiritual kepada para pengikutnya. Banyak tokoh su berpengaruh yang melakukan kontak dengannya seperti Abu Musa al-Daibuli, Yahya al-Razi, dan Dhu al-Nun al-Misri. Tetapi yang paling mendapat sorotan adalah ketika al-Bustami berguru kepada Abu Ali al-Sindi. Kejadian ini sempat membuat sejumlah orientalis, misalnya Zaehner beranggapan jika ajaran al-Bustami itu terpengaruh oleh ajaran mistik-lsafat Hinduisme India dan teks suci Ved anta -nya. Sebab Abu Ali sendiri berasal dari kawasan yang amat kental dengan ajaran lsafat kuno selalu menekankan agar seseorang selalu mengerjakan syariat. Ia sendiri merupakan pribadi yang senantiasa shalat sepanjang malam, hingga terdengar suara desah karena ketakutannya kepada Allah Swt. maka dada dan bahunya yang bergetar. Perilakunya selalu dijaga, sopan santun saat sedang ber-hadapan dengan Allah Swt. Ia juga tak pernah meludah di sekitar 40 langkah jika di sekitarnya terdapat masjid. Al-Bustami sangat takut melanggar sunnah Nabi dan selalu menekankan pada pelaksanaan syariat yang saat usianya menginjak 73 tahun 261 H, al-Bustami meninggal dunia di kota tempat kelahirannya, Bistam, sekaligus dimakamkan di Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Su Dan Tasawwuf Solo Ramadhani, 1990, Falatehan, Tasawuf Falsa Persia, 92– Ali Mas’ud, “Transformasi Sustik Abu Yazid Al Bisthami,” Nizamia 4 June 2001, 49. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ11Vol. 20, No. 1, Januari 20202. Pemikiran Tasawuf al-BustamiAbu Yazid al-Bustami merupakan salah satu guru yang ada dalam silsilah Tarekat Shadziliyyah, Suhrawardiyyah, dan beberapa tarekat lain. Menurut Said Aqil Siraj, di dalam tasawuf, al-Bustami tidak mengangkat isu atau termino- logi baqa’. Ia mempunyai terminologi bahwa manusia dipenjara oleh materi dan nafsu. Kalau ingin masuk dalam alam malakut, alam mala’ al-a’la atau alam universal, yang harus dilakukan seseorang adalah dengan menghancurkan diri. Dengan begitu, seorang su baru bisa sampai kepada keadaan ittihad, yaitu ber-satunya su dengan Allah ini merupakan salah satu di antara generasi pertama kaum su yang berperan penting dalam membangun sistematika sejarah tasawuf. Ia tak ingin dipuji dan dikenal oleh banyak orang, karena itu ia tergolong sebagai kelompok Malamatiyyah, yaitu kelompok yang suka mencela dirinya sendiri. Al-Bustami dianggap sebagai penggagas konsep fana’ ketika terjadi kesatuan ittihad antara su dengan Tiga terma tasawuf yang tak terpisahkan dalam konsep tasawuf al-Bustami adalah fana’, baqa’, dan ittihad. Sebelum seorang su dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan dengan Tuhan. Penghancuran ini yang disebut dengan fana’ .47 Di dalam fana’, seseorang akan memasuki fase la shu’ur, yaitu tidak merasa apa-apa hingga tidak merasa- kan wujud dirinya sendiri, dan pada waktunya nanti, ketika seseorang sudah mampu tidak merasakan wujud diri yang semu ini, maka ia akan masuk pada Wujud Yang Hakiki, yaitu wujudnya menuju fase fana’ ini bukan perkara yang mudah. Perlu proses yang panjang supaya seseorang bisa mencapai fase fana’ ini. Proses tersebut ditandai dengan huyum, yaitu keadaan ketika seorang su mulai kehilangan kesadaran-nya secara perlahan. Kemudian majdhub, yaitu tersedot atau tertarik oleh Wujud Yang Mutlak. Setelah itu adalah fana’ dan fana’ al-fana’, yaitu keadaan lupa bahwa dia telah hancur. Imam al-Junaid kemudian mengingatkan bahwa setelah fase ini haruslah ada fase baqa’. 4945 Said Aqil Siraj, Dialog Tasawuf Kiai Said Surabaya Khalista, 2012, Falatehan, Tasawuf Falsa Persia, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Siraj, Dialog Tasawuf Kiai Said, Ibid. 12 Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANJika seseorang dalam keadaan fana’, maka seringkali tindakan dan ucapan-nya memunculkan kontroversi. Su tersebut bisa saja mengucapkan kata-kata yang sering disebut dengan shatahat, yaitu ungkapan aneh yang keluar dari mulut seorang su ketika menyatu dengan Tuhan atau Dalam bahasa psikologi modern, dapat dikatakan bahwa fana’ adalah kondisi intuitif di mana seseorang untuk beberapa lama kehilangan perasaannya terhadap ego. Kondisi fana’ yang dialami oleh su ini merupakan keadaan insidental, artinya hanya terjadi atau dilakukan pada kesempatan tertentu saja, bukan kejadian secara ter-atur atau rutin, sebab jika berlangsung secara terus-menerus justru bertentangan dengan syariat Hai inilah yang kemudian diperingatkan oleh Imam al-Junaid bahwa tidak dibenarkan terus-terusan dalam kondisi fana’. Harus ada fase baqa’ ba’d al-fana’, sebab fase fana’ masih rendah dan masih proses. Setelah itu seharusnya ada fase baqa’ , yang artinya dari hilang menjadi sadar fana’ yang dialami al-Bustami ini tercermin dalam ucapannya berikut Artinya Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur. Kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun          Artinya Dia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati. Kemudian Dia membuatku gila pada-Nya, dan aku pun hidup. Aku berkata, “Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan Kelanjutan dari fase fana’ adalah fase ittihad atau ketika seorang su sudah mencapai fase fana’ al-fana’, maka selanjutnya ia akan mengalami ittihad, yaitu keadaan seorang su yang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “Hai Aku”. Dalam ittihad, yang dilihat hanyalah satu wujud, meski pada dasarnya ada dua wujud yang saling Mas’ud, “Transformasi Sustik Abu Yazid al-Bisthami,” Siraj, Dialog Tasawuf Kiai Said, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Ibid., 65. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ13Vol. 20, No. 1, Januari 2020Ittihad berawal dari fase fana’. Dalam hal ini al-Bustami meninggalkan diri-nya dan pergi kehadirat Tuhan. Isyarat tersebut tampak ketika al-Bustami meng-aku melihat Tuhan dalam mimpi dan mendapatkan perintah agar meninggalkan dirinya dan datang kepada Tuhan agar dirinya lebih dekat kepada Inilah yang menurut penulis merupakan cikal bakal lahirnya konsep yang diterangkan di atas, ketika sedang mengalami ittihad, al-Bustami selalu melontarkan kata-kata yang sulit dipahami yang dalam terma tasawuf sering disebut dengan shatahat. Di antara shatahat kontroversial yang pernah diungkapkan al-Bustami adalah saat ia mengaku telah melakukan mikraj sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Selain itu, al-Bustami juga tidak jarang melontarkan ungkapan-ungkapan kontroversial yang jika dipahami oleh orang awam akan sangat berbahaya, di antaranya adalahManusia taubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku tobat dari ucapanku “Tiada Tuhan selain Allah” karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedang Tuhan tidak dapat dijangkau dengan huruf dan memasuki fase ittihad, al-Bistami terkadang mengucapkan ungkapan berikut          Artinya Tuhan berkata “Hai Abu Yazid, semuanya dari mereka adalah makhluk-Ku kecuali engkau. Aku pun berkata “aku adalah Engkau, Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”59                Artinya Percakapan pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Tuhan pun berkata “Hai engkau!” aku dengan perantaran-Nya menjawab, “Hai Aku”, Tuhan berkata “Engkaulah yang satu”, aku pun men-jawab “Akulah yang satu”. Tuhan selanjutnya berkata “Engkau adalah Engkau”. Aku menjawab “Aku adalah aku.”6056 Ibid., Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Ibid., Ibid. 14 Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMAN   Artinya Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Artinya Mahasuci Aku, Mahasuci Aku, Betapa Agungnya  Artinya Yang ada dalam jubah ini hanya orang awam yang baru mendengar kata tersebut, pasti akan mengira bahwa al-Bustami telah gila ataupun kar karena mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi patut diketahui bahwa pengucapan kata “Aku” dalam shatahat al-Bustami bukan sebagai gambaran dari al-Bustami, melainkan sebagai gambaran Tuhan. Dengan kata lain, al-Bustami dalam fase ittihad berbicara dengan nama Tuhan, atau lebih tepat jika dikatakan bahwa Tuhan berbicara melalui lidah al-Bustami. Dengan demikian, dalam hal ini al-Bustami tidaklah mengaku sebagai Berbeda dengan ungkapan Fir’aun Ana rabbukum al-A’la yang memang ber-maksud membangga-banggakan dirinya silang pendapat terkait pengucapan shatahat di atas. Imam al-Junaid menolak hal tersebut, akan tetapi Abd al-Qadir al-Jilani, seorang su sekali-gus fakih dari mazhab Hanbali menetapkan satu ketentuan bahwa jika ucapan tersebut diucapkan dalam keadaan sadar, maka jelas dilarang. Namun, ketika diucapkan dalam keadaan ghaibah atau tidak sadar, maka tidak ada hukum Imam Ibn Taimiyah juga mengkhawatirkan jika shatahat semacam itu dilakukan dengan pura-pura atau majdhub yang tidak Jika terjadi dalam hal ini, tentu yang demikian ini Shatahat di atas dapat dipahami bahwa dalam kondisi ittihad, rohani al-Bustami keluar dari dirinya. Pada saat seperti inilah terjadi penyatuan dengan Tuhan. Dengan demikian, penyatuan dalam konsep ittihad ini bukan penyatuan 61 Ibid., Siraj, Dialog Tasawuf Kiai Said, Shā'ī and 'Ajamī, Fī al-Tasawwuf al-Islāmī, Siraj, Dialog Tasawuf Kiai Said, 38. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ15Vol. 20, No. 1, Januari 2020sifat, penyatuan wujud, atau Tuhan mengambil tempat pada tubuh al-Bustami, akan tetapi penyatuan yang terjadi adalah penyatuan Al-Hallaj w. 309 H1. Biogra Singkat al-HallajNama lengkapnya adalah Abu Mud al-Husain bin Mansur Mahamma al-Baidawi al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H/858 M di Desa Tur, sekitar 30 km dari arah utara Kota Konon, katanya al-Hallaj ini pada asalnya seorang yang beragama Majusi, dan masih keturunan sahabat Abu Akan tetapi, menurut versi yang lain, bahwa yang beragama Majusi adalah kakeknya yang bernama masa kecil, ia sering berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti kepindahan keluarganya. Dari tanah kelahirannya, al-Hallaj dibawa menuju ke Kota Ahwaz dan akhirnya sampai di Kota Wasit yang terkenal dengan pendidikan al-Qur’annya. Di Wasit inilah sang ayah bekerja sebagai pembusar kapas dan berkat ketekunannya ia dapat mendirikan pabrik. Lalu, al-Hallaj di-masukkan ke sekolah khusus al-Qur’an, dan dalam jangka waktu dua tahun, ia sudah mengkhatamkan al-Qur’an. Bahkan pada usianya yang masih 12 tahun, ia sudah paham maksud dan tafsiran al-Qur’ usia 16 tahun, al-Hallaj sudah menguasai berbagai macam ilmu, dan berdasarkan nasihat pamannya, ia akhirnya meninggalkan Wasit menuju Desa Tustar untuk berguru kepada Sahl bin Abdullah al-Tustari w. 283 H. Dari gurunya ini al-Hallaj mulai mengenal ajaran tasawuf pada tahap awal, seperti melaksanakan sunnah Rasul dan praktik-praktik kezuhudan, misalnya puasa dan salat sunnah. Setelah itu ia bertolak ke Basrah untuk berguru kepada Amir bin Uthman al-Makki w. 297 H, salah seorang murid kesayangan al-Junaid. Sejak saat itu al-Hallaj dikenal sebagai seorang su.73 Dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa al-Hallaj pernah berguru langsung ke Imam al-Junaid di Di Baghdad al-Hallaj kemudian mengarang beberapa kitab. Jumlah-68 Mas’ud, “Transformasi Sustik Abu Yazid al-Bisthami,” Ali Khatib, Ittijahat al-Adab al-Su Bain al-Hallaj wa Ibn Arabi Kairo Dar al-Ma’arif, 1404, Shā'ī and 'Ajamī, Fī al-Tasawwuf al-Islāmī, Khatib, Ittijahat al-Adab al-Su, Badrudin, “Pusaran Arus Syariat dan Tasawuf dalam Keberagaman al-Hallaj,” El Qisth 1 March 2015 Falatehan, Tasawuf Falsa Persia, 113. 16 Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANnya sekitar 49 judul buku. Dua di antaranya mengenai politik, dan yang paling terkenal berjudul Al-Siyasah wa al-Khulafa’ wa al-Umara’ yang ditemukan di perpustakaan Ali bin Isa al-Wazir. Akan tetapi, kitabnya tidak ada yang sampai kepada kita pada saat ini kecuali yang berjudul pernah menikah dengan putri seorang su kenamaan bernama Abu Ya’qub al-Aqta dan memiliki tiga orang anak, tetapi tidak diketahui siapa saja nama anak mereka kecuali hanya Hamd yang menulis biogra ayahnya, Al-Hallaj memiliki perilaku-perilaku di luar kebiasaan, bahkan ia sering menampilkannya di muka publik. Ia pernah mengeluarkan dirham dan misik dari telapak tangannya. Ia juga mengetahui perkataan serta pikiran hati orang lain. Pernah juga suatu ketika ia membawa apel yang ia katakan apel dari surga, tetapi ketika dipegang oleh orang lain berubah menjadi kotoran manusia. Kelebihan lain yang dimiliki adalah mampu menghidupkan binatang mati milik Khalifah al-Muqtadir. Bahkan, konon, al-Hallaj juga bisa menghidupkan orang mati, memerintah jin, dan malaikat sesuai dalam sehari semalam al-Hallaj melakukan shalat sebanyak 400 kali, dan di setiap shalat itu, al-Hallaj selalu memperbarui mandinya. Ketika ditanya alasan melakukan hal yang memberatkan itu, al-Hallaj menjawab bahwa bagi orang yang rindu tidak akan pernah mengeluh untuk melakukan apa saja yang diminta oleh yang dirindukan. Mandi itu ibarat waktu istirahat sebelum menuju shalat kehebatan-kehebatan itulah, al-Hallaj kemudian mempunyai banyak pengikut. Namun, tak sedikit juga yang menghukuminya sebagai tukang sihir, kar, dan zindiq yang telah keluar dari aturan al-Qur’an dan al-Hadis. Bahkan, ia juga dituduh sebagai penyihir yang berlindung di balik perjalanan hidup al-Hallaj tidak pernah lepas dari ancaman karena memang berawal dari ajarannya yang kontroversial. Hal ini bermula ketika al-Hallaj berusia 53 tahun, namanya mulai menjadi buah bibir para ahli kih. Salah satunya adalah Ibn Daud al-Isfahani, seorang ulama dari Mazhab Zahiri yang cenderung tekstualis, mengeluarkan satu fatwa untuk membantah dan mem- berantas ajaran al-Hallaj. Ibn Daud pada masa itu merupakan ulama yang cukup 75 Khatib, Ittijahat al-Adab al-Su, M. Subkhan Anshori, Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan, Edisi ke-2 Kediri Pustaka Azhar, 2011, 208– Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Anshori, Filsafat Islam, 209. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ17Vol. 20, No. 1, Januari 2020berpengaruh baik bagi kalangan ulama yang lain maupun pemerintah. Karena itu al-Hallaj ditangkap dan dipenjara pada tahun 297 H. Namun, setelah satu tahun di dalam penjara, al-Hallaj dapat melarikan diri dengan pertolongan sipir penjara yang kelihatannya bersimpati terhadap kehidupan al-Hallaj selama di penjara. Al-Hallaj kemudian melarikan diri ke Sus di wilayah Ahwaz. Di sana ia bersembunyi selama empat tahun dengan pendirian dan keyakinan ajarannya yang tidak berubah. Namun, pada akhirnya tahun 301 H al-Hallaj ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara selama delapan ditangkap kembali, al-Hallaj tak sedikit pun mengubah ajarannya, justru ia semakin mantap dengan keyakinannya itu. Akhirnya, pada tahun 309 H, diadakanlah persidangan ulama di bawah komando Khalifah al-Muqtadir Billah, tepat pada 18 Dhulqa’dah 309 H, diputuskan bahwa al-Hallaj harus di-bunuh dengan cara dipukul, dicambuk dengan cemeti, lalu disalib. Sesudah itu, kedua tangan dan kakinya dipotong, serta lehernya dipenggal. Jasad dan poto-ngan-potongan tubuhnya dibiarkan tergantung di pintu gerbang Kota Baghdad agar menjadi peringatan bagi siapa saja untuk tidak mengikuti ajaran al-Hallaj. Setelah itu, jasadnya dibakar dan abunya dihanyutkan dalam Sungai Konon, katanya ketika abu jasad al-Hallaj dihanyutkan ke sungai, abu tersebut membentuk tulisan “Ana al-Haq”.82Terkait dengan ajaran dan keyakinan yang membuat al-Hallaj sampai diek-sekusi mati tersebut, akan penulis jelaskan pada bagian Pemikiran Tasawuf al-HallajMembedah pemikiran al-Hallaj utamanya yang berkenaan dengan tasawuf merupakan satu hal yang penting. Terlepas dari kontroversi ajarannya, al-Hallaj telah banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran tasawuf Islam pada masa sesudahnya. Al-Hallaj merupakan pintu pengantar pembentukan tasawuf falsa yang melenceng dari praktik-praktik kesuan Nabi dan para sahabatnya. Jika al-Bustami banyak mempengaruhi pemikiran al-Hallaj, maka al-Hallaj adalah pioner bagi pemikiran tasawuf berikutnya yang diikuti oleh para su seperti Hakim al-Tirmidhi, Ibn al-Arabi, Abd al-Karim al-Jili, Jalal al-Din al-Rumi, dan su-su lain yang sejalan Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Ibid., Falatehan, Tasawuf Falsa Persia, Anshori, Filsafat Islam, 207. 18 Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANHamka meringkas ajaran tasawuf al-Hallaj menjadi tiga Hulul, al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, dan Kesatuan Segala Dari ketiga ajarannya ini tentu yang sangat menarik perhatian adalah ajarannya tentang merupakan paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Menurut al-Hallaj, Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan lahut dan sifat kemanusiaan nasut.85 Pun demikian dengan manusia, ia juga memiliki dua sifat lahut dan nasut Pendapat akan adanya sifat tersebut didapat atas pemahaman terhadap hadis  Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-NyaAdam adalah satu kesan yang kuat tentang ketuhanan, yaitu sebuah objek-tivitas ketuhanan di dalam bentuk seorang manusia, dan Tuhan pun sejak semula telah memanifestasikan diri-Nya melalui Adam. Maka tidak heran ketika dahulu Malaikat dan Jin diperintahkan sujud kepada Adam, karena Adam adalah mani-festasi dari keyakinan ini, jika manusia bisa melenyapkan sifat nasut-nya dengan berbagai macam ibadah, maka yang tertinggal dalam dirinya adalah sifat lahut. Saat itulah Tuhan dengan membawa sifat nasut-Nya dapat turun dan mengambil tempat ke dalam raga kasar Pendapat al-Hallaj ini terlihat dari shatahat-nya berikut        Maha Suci Zat Yang Sifat Kemanusiaan-Nya membuka rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilangkemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyatadalam bentuk manusia yang makan dan Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Falatehan, Tasawuf Falsa Persia, Ibid., 117. 88 Shā'ī and 'Ajamī, Fī al-Tasawwuf al-Islāmī, 122. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ19Vol. 20, No. 1, Januari 2020Pengambilan tempat Tuhan dalam tubuh manusia digambarkan al-Hallaj bagaikan air suci yang bercampur dengan anggur. Hal ini terlihat dalam shatahat-nya berikut            Jiwa-Mu disatukan dengan jiwakubagaikan anggur disatukan dengan air sucidan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkauia menyentuh aku puladan ketika itu aku dalam tiap halEngkau adalah         Aku adalah Dia yang kucintaDan Dia yang kucinta adalah akuKami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuhJika engkau lihat aku engkau lihat DiaDan jika engkau lihat DiaEngkau lihat yang sering diingat terkait ungkapan "ana al-haqq" ini terjadi pada suatu hari al-Hallaj mengetuk pintu rumah Imam al-Junaid. Lalu, al-Junaid ber-tanya “Siapa yang ada di situ?” Al-Hallaj kemudian menjawab “al-Haqq”. Al- Junaid langsung menegurnya “Janganlah kau berkata seperti itu, tapi katakanlah Saya datang atas nama al-Haqq’." Bahkan, waktu itu al-Junaid sudah meramalkan bahwa al-Hallaj akan disalib di tiang gantungan hingga darahnya mengotori al-Hallaj mengucapkan “ana al-haqq”, maka ia sedang dalam lingku-ngan makrifat yang merasakan kekosongan dunia akhirat dan yang ada hanya keesaan Allah. Bagi al-Hallaj, kata ganti “ana aku” berarti ciptaan Allah. Bahkan sik pun ciptaan Allah. Karena itu, kata “aku” merupakan hak dan otoritas yang 90 Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Shā'ī and 'Ajamī, Fī al-Tasawwuf al-Islāmī, Falatehan, Tasawuf Falsa Persia, 116. 20 Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANhanya ada pada Allah. Manusia menggunakan kata ganti “aku” hanya bersifat sementara dan pinjaman dari ajaran Hulul ini merupakan respons atas kehidupan yang bersifat keduniawian. Dalam teori lsafat tasawuf, Tuhan adalah sesuatu yang dipan- dang murni dan bersih. Oposisinya adalah fenomena keduniawiaan yang men-jadi basis kehidupan manusia. Dua hal tersebut diterjemahkan sebagai reeksi dari kebaikan melawan kegelapan geerlapnya materi dunia. Dari sini, upaya untuk membersihkan diri dari godaan dunia dianggap sebagai cara tepat untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Penjabarannya, dengan perilaku fana’ terhadap dunia termasuk meleburkan sisi ego kemanusiaannya, sebagian sifat dasar ke-tuhanan ternyata sanggup masuk dalam raga manusia. Oleh sebab itu, al-Hallaj menawarkan ajaran Hulul manusia bisa mencapai fase Hulul ini, maka al-Hallaj membuat fase-fase pendahuluan. Fase pertama ialah berlaku zuhud yang diuraikannya dengan istilah tahdhib, taqrib, dan tafrid. Fase kedua adalah pembersihan secara pasif yang diungkapkannya dengan terma idtirar, bala’, istihlak al-nasutiyyah, khala’, dan fana’ an awsaf al-bashariyyah. Pada fase ini seorang su dipanggil dengan istilah murad, yaitu seseorang yang dihasrati oleh Tuhan. Fana’ menurut al- Hallaj merupakan kejadian di luar dari kehendaknya. Dengan keadaan ini, lalu al-Hallaj menjadikan Allah sebagai satu-satunya poros yang selalu diingatnya. Setelah keadaan ini baru masuk fase berikutnya. Fase ketiga adalah kehidupan bersatu yang digeneralisasi dalam ungkapan ain al-jam’, raf’ al-ananiyah, dan qa’im bi al-haqq. Setelah tahap fana’ yang terjadi di luar rasionalitas manusia, barulah secara otomatis terjadi bagaimanapun ungkapan shatahat al-Hallaj, ia pada dasarnya tidak mengakui dirinya adalah Tuhan sebagaimana ungkapannya berikut       Aku adalah rahasia Yang Maha BenarDan Bukanlah Yang Maha Benar itu akuAku hanya satu dari yang benarMaka bedakanlah antara Siraj, Dialog Tasawuf Kiai Said, Falatehan, Tasawuf Falsa Persia, Ibid., Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 74. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ21Vol. 20, No. 1, Januari 2020Ajaran berikutnya yang dikenalkan al-Hallaj adalah konsep Nur Muham-madiyyah yang merupakan bentuk kesinambungan dari Hulul. Nur Muhamma-diyyah merupakan cerminan dari Hulul Tuhan kepada manusia. Memperoleh Nur Muhammadiyyah sama halnya dengan kemampuan melakukan Hulul. Nur Muhammadiyyah merupakan makhluk pertama yang diciptakan oleh Tuhan. Ia adalah manusia yang telah diciptakan dari entitas, sifat-sifat, dan nama-nama Tuhan. Ia adalah Adam dari tinjauan substansinya, bukan dari siknya. Ia adalah makhluk spiritual yang selalu menitis dari nabi ke nabi dan dari wali ke wali. Keberagaman para nabi dari masa ke masa hanya dianggap sebagai penjelmaan dari satu entitas. Tidak ada perbedaan di antara mereka, karena mereka berasal dari entitas yang Muhammadiyah bukanlah Nabi Muhammad Saw. dalam teori ini, Nabi Muhammad memiliki perwujudan ganda. Pertama adalah Muhammad Saw. yang lahir di Makkah sebagai Nabi orang Islam; dan yang kedua adalah Muhammad spiritual yang telah diciptakan lebih dahulu seiring dengan keberadaan Tuhan. Anehnya, meskipun al-Hallaj beragama Islam, tetapi ia meyakini bahwa keber-adaan Nur Muhammadiyah paling sempurna adalah saat Nur itu berada pada diri Isa al-Masih dan bukan pada diri Nabi Muhammad Saw. jadi menurut al-Hallaj, sumber informasi dari Isa al-Masih ini dianggap lebih sempurna. Hal tersebut menurut penilaian al-Hallaj, kehidupan su yang ditampakkan oleh Isa al-Masih dianggap lebih tinggi dari Nabi Muhammad Muhammadiyah ini pulalah yang menunjukkan keunggulan derajat ke-walian dan kenabian. Ketika derajat kewalian lebih tinggi dari kenabian, maka para wali berhak memahami arti ibadah secara berbeda dengan pemahaman umum, bahkan dengan nabi sekalipun. Ini tampak pada diri al-Hallaj sendiri. Al-Hallaj misalnya, memiliki denisi tersendiri tentang shalat. Baginya shalat itu adalah doa yang keluar dari relung hati paling dalam. Shalat merupakan ritual-ritual kesudian yang mampu menghantarkan para su menyatu dengan Tuhan. Al-Hallaj menganggap bahwa praktik shalat dengan ruku’, sujud, dan sebagainya itu adalah penghalang dalam pencapaian penyatuan dengan Tuhan. Dari sinilah akhirnya al-Hallaj berkesimpulan bahwa orang yang telah mencapai kesem- purnaan derajat kewalian, berarti telah terbebas dari tuntutan syariah. Ia diper-bolehkan memahami arti syariah secara berbeda dengan pemahaman 97 Anshori, Filsafat Islam, Ibid., Ibid., 223. 22 Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANBerawal dari Nur Muhammadiyah ini pula, al-Hallaj kemudian memuncul-kan ajaran kesatuan dari semua agama. Menurutnya, tidak ada perbedaan antara Islam, Kristen, Yahudi, Nasrani, dan Namun, di balik ajaran ke-satuan semua agama ini, pada dasarnya al-Hallaj ingin meminimalisir praktik ketidakadilan yang bertendensikan perbedaan agama. Bangsa Persia yang tidak beragama Islam harus diberikan hak sama sebagaimana orang dijelaskan di atas, bahwa akhir hidup al-Hallaj ini bisa dibilang tragis, ia dibunuh sedemikian Sebagaimana diringkas oleh Nasution, penyebab dibunuhnya al-Hallaj secara sadis ini adalah karena empat hal berikuta. Kepemilikan hubungan dengan gerakan Syiah Qaramitah yang mempunyai paham komunis dan mengadakan teror, menyerang Makkah pada 930 M, merampas Hajar Aswad, dan menentang pemerintahan Bani Bahkan, dalam literatur lain disebutkan bahwa al-Hallaj yang ada di balik gerakan Keyakinan para pengikutnya bahwa ia mempunyai sifat ketuhanan, dan di-ikuti oleh para rakyat Ucapan kontroversialnya “ana al-haqq.” 105d. Menganggap ibadah haji tidak Dalam literatur lain disebutkan bahwa menurut al-Hallaj, haji itu sifatnya harus bathini bukan zahiri. Artinya, jika seseorang ingin melakukan ibadah haji, ia tak perlu pergi ke Makkah. Ia cukup membangun ruangan suci dan bersih yang di dalamnya didirikan Kakbah sebagaimana Ka'bah di Makkah, dan ketika datang bulan haji, maka ia cukup melakukan ritual haji di Ka'bah yang ia buat itu setelah itu ia harus mengumpulkan 30 anak yatim di dalam rumahnya dan memberi mereka makanan, membersihkan tangan mereka dengan air, lalu memberi pakaian dan uang kepada mereka. Jika itu semua sudah dilakukan, maka ia sama saja dengan melakukan ibadah haji di 100 Ibid., Naisaburi, Tazkirat al-Auliya’, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Anshori, Filsafat Islam, Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Anshori, Filsafat Islam, 211. PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AWAL RABI'AH AL-'ADAWIYAH, AL-BUSTAMI, DAN AL-HALLAJ23Vol. 20, No. 1, Januari 2020E. KesimpulanTerlepas dari kontroversi yang ada, setidaknya ketiga su di atas merupakan pioner bagi sufi-sufi generasi berikutnya, utamanya terhadap perkembangan tasawuf falsa berikutnya yang kemudian memunculkan nama-nama seperti Ibn Arabi, Suhrawardi, dan sebagainya. Dari perkembangan pemikiran tasawuf falsa tahap awal inilah lahirlah tiga konsep tasawuf, yaitu mahabbah Ilahiyah, ittihad, dan hulul. Tiga konsep ini merupakan konsep awal dari tasawuf falsa dalam tradisi Islam. Dengan demikian, tasawuf falsa itu tidak dimulai sejak abad ke-6 H, melainkan lebih awal dari itu, yaitu sejak masa Rabi’ah al-Adawiyah, al-Hallaj, dan itu, semua konsep tasawuf yang disebut di atas merupakan puncak dari pengalaman sustik ketiga su tersebut. Menurut penulis, pada dasarnya ketiga konsep tersebut adalah konsep yang saling berkaitan dan merupakan pengembangan dari konsep sebelumnya. Misalnya, semua su mengakui konsep mahabbah Ilahiyah, dan merupakan tahapan yang harus dicapai untuk menuju tahap berikutnya yang lebih Rabi’ah al-Adawiyah mahabbah tidak harus menimbulkan sikap tidak sadar atau fana’, karena dalam mengungkapkan mahabbah Ilahiyah-nya, Rabi’ah mengungkapkannya layaknya orang yang benar-benar dimabuk cinta. Ia selalu sadar dalam ucapannya. Lebih dari itu, belum tampak jelas konsep penyatuan Tuhan dan Manusia di dalam konsep mahabbah Ilahiyah. Al-Bustami kemudian mengembangkannya. Baginya setelah orang itu mempunyai mahabbah Ilahiyah yang begitu tinggi, ia akan memasuki fase fana’ dan selanjutnya ke fase ittihad. Al-Hallaj pun memiliki konsep yang mirip dengan al-Bustami. Bagi al-Hallaj, setelah orang tersebut fana’, barulah terjadi hulul yang tidak hanya penyatuan Tuhan dan Manusia, tetapi Tuhan menempati tubuh manusia. Hulul merupakan pengembangan dari konsep paling penting, dan yang patut diketahui, pengalaman sustik antara satu orang dengan yang lain itu sifatnya sangat individualistis personal. Dengan cara yang sama maupun tahapan yang sama, apa yang dicapai seseorang tentu memberikan hasil yang berbeda-beda. Jadi yang paling bijak ialah menilai apa yang diucapkan oleh su-su di atas, sebagai satu hal yang bukan merupakan kebenaran umum, melainkan pemikiran mengenai kebenaran yang sifatnya per-sonal dan kondisional menurut su-su tersebut. ☐ 24 Vol. 20, No. 1, Januari 2020MUBAIDI SULAEMANDaar PustakaAnshori, M. Subkhan. Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan. Edisi ke-2. Kediri Pustaka Azhar, Abu Bakar. Pengantar Sejarah Su dan Tasawwuf. Solo Ramadhani, Abd al-Rahman. Shahidah al-`Ishq al-Ilahi Rabi`ah al-`Adawiyyah. 2nd Edition. Kairo Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, “Pusaran Arus Syariat dan Tasawuf dalam Keberagaman al-Hallaj.” El-Qisth 1, March Aun Falestien. Tasawuf Falsa Persia di Masa Klasik Islam. Surabaya Dakwah Digital Press, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Edisi ke-19. Jakarta PT. Pustaka Panjimas, Muhammad Atiyyah. Rabi’ah al-’Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin. Jakarta Pustaka Firdaus, Ali. Ittijahat Al-Adab al-Su Bain al-Hallaj wa Ibn Arabi. Kairo Dar al-Ma’arif, Ali. “Transformasi Sustik Abu Yazid al-Bustami.” Nizamia 4, June Farid al-Din Attar. Tazkirat al-Auliya’. Markaz Tahqiqat, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Falsafat Islam-Mistisisme Islam-Tasawuf. Jakarta Bulan Bintang, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Cet. 6. Jakarta Penerbit Universitas Indonesia, Abd al-Karim bin Hawazin bin Abd al-Malik al-. Al-Risalah al-Qushai-riyah. Vol. 2. Kairo Dar al-Ma’arif, Hasan Mahmud, and Abu al-Yazd Abū Zayd 'Ajamī. Fi al-Tasawwuf al-Islam. Al-Kab'ah 1. Madnat Nadr, al-Qahirah Dar al-Salam, Said Aqil. Dialog Tasawuf Kiai Said. Surabaya Khalista, Rabi’ah al-’Adawiyah Hub Bal-Illahi Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah. Cet. II. Jakarta PT. Raja Grando Persada, Ibrahim Ibrahim Muhammad. Al-Madkhal ila Tasawwuf al-Falsa. Kuwait Muntada Sur al-Azbakiyyah, 2002. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Sufistik Abu Yazid al-BustamiAli Mas'udMas'ud, Ali. "Transformasi Sufistik Abu Yazid al-Bustami. " Nizamia 4, June and 'Ajamī, Fī al-Tasawwuf al-Islāmī, Arus Syariat dan Tasawuf dalam Keberagaman al-HallajBadrudinBadrudin. "Pusaran Arus Syariat dan Tasawuf dalam Keberagaman al-Hallaj. " El-Qisth 1, March adalah rahasia Yang Maha Benar Dan Bukanlah Yang Maha Benar itu aku Aku hanya satu dari yang benar Maka bedakanlah antara kamiFilsafat AnshoriIslamAnshori, Filsafat Islam, 209. Aku adalah rahasia Yang Maha Benar Dan Bukanlah Yang Maha Benar itu aku Aku hanya satu dari yang benar Maka bedakanlah antara kami. 96Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Solo RamadhaniAbu AtjehBakarAtjeh, Abu Bakar. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Solo Ramadhani, Falsafi Persia di Masa Klasik IslamAun FalatehanFalestienFalatehan, Aun Falestien. Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam. Surabaya Dakwah Digital Press, al-'Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin. Jakarta Pustaka FirdausMuhammad KhamisAtiyyahKhamis, Muhammad Atiyyah. Rabi'ah al-'Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin. Jakarta Pustaka Firdaus, SirajAqilSiraj, Said Aqil. Dialog Tasawuf Kiai Said. Surabaya Khalista, 2012.
AbuYazid al-Busthami biasa disebut juga dengan nama Bayazid sebagai nama kunyahnya. Sedangkan beliau lahir dengan nama asli Thaifur bin 'Isa bin Adam bin Sarwasyan. Syair Perang Mengkasar Encik Amin dan Eksistensi Literatur Islam Melayu . 15/02/2021. Dalil Kebenaran Amaliah Tahlilan Untuk Orang Meninggal, Wahabi Wajib Baca! 28/07/2020.

Login Register Newsletter پارسی home page proviences Alborz Ardabil Bushehr Chaharmahal Bak... East Azerbaijan Fars Gilan Golestan Hamadan Hormozgan Ilam Isfahan Kerman Kermanshah khuzestan Kohgiluyeh Boyer... kurdistan Lorestan Markazi Mazandaran North Khorasan Qazvin Qom Razavi Khorasan Semnan Sistan and Balu... South Khorasan Tehran West Azerbaijan yazd Zanjan Alborz Province Eshtehard Fardis Karaj Nazarabad Savojbolagh Taleqan Ardabil Province Ardabil Bileh Savar Germi Khalkhal Kowsar Meshgin Shahr Namin Nir Parsabad Sareyn Bushehr Province Asaluyeh Bushehr Dashtestan Dashti Dayyer Deylam Ganaveh Jam Kangan Tangestan Chaharmahal Bak... Province Ardal Borujen Farsan Kiar Kuhrang Lordegan Saman Shahrekord ben East Azerbaijan Province Ahar Ajab_Shir Azarshahr Bonab Charoymaq Hashtrud Heris Jolfa Kaleybar Khoda Afarin Malekan Maragheh Marand Miyaneh Osku Sarab Shabestar Tabriz Varzaqan bostan abad Fars Province Abadeh Arsanjan Bavanat Darab Eqlid Estahban Farashband Fasa Firuzabad Gerash Ghirokarzin Jahrom Kavar Kazeroun Kharameh Khonj Khorambid Lamerd Larestan Mamasani Marvdasht Mohr Neyriz Pasargad Rostam Sarvestan Sepidan Zarrin Dasht shiraz Gilan Province Amlash Astaneh Ashrafiyeh Astara Bandar-e Anzali Fuman Lahijan Langarud Masal Rasht Rezvanshahr Rudbar Rudsar Shaft Siahkal Sowme'eh Sara Talesh Golestan Province Aliabad Aqqala Azad Shahr Bandar-e Gaz Galikash Gomishan Gonbad-e Kavus Gorgan Kalaleh Kordkuy Maraveh Tappeh Minudasht Ramian Torkaman Hamadan Province Asadabad Bahar Famenin Hamedan Kabudrahang Malayer Nahavand Razan Tuyserkan Hormozgan Province Abumusa Bandar Abbas Bandar Lengeh Kish Bashagard Bastak Hajjiabad Jask Khamir Minab Parsian Qeshm Rudan Sirik Ilam Province Abdanan Badreh Chardaval Darreh Shahr Dehloran Eyvan Ilam Malekshahi Mehran Sirvan Isfahan Province Aran va Bidgol Ardestan Borkhar Buin_va_Miandasht Chadegan Dehaqan Falavarjan Fereydan Fereydunshahr Golpayegan Isfahan Kashan Khomeyni Shahr Khur and Biabanak Khvansar Lenjan Mobarakeh Nain Najafabad Natanz Semirom Shahin Shahr and... Tiran and Karvan Kerman Province Anar Anbarabad Arzuiyeh Baft Bam Bardsir Fahraj Faryab Jiroft Kahnooj Kerman Kuhbanan Manujan Narmashir Qaleh Ganj Rabor Rafsanjan Ravar Rigan Rudbar-e Jonub Shahr-e Babak Sirjan Zarand Kermanshah Province Dalahu Eslamabad-e Gharb Ghasr-e Shirin Gilan-e Gharb Harsin Jawanroud Kangawar Kermanshah Paveh Ravansar Sahneh Salas-e Babajani Sarpol-e Zahab Sonqor khuzestan Province Abadan Aghajari Ahvaz Andika Andimeshk Bagh-e_Malek Bandar-e Mahshahr Bavi Behbahan Dasht-e Azadegan Dezful Gotvand Haftkel Hamidiyeh Hendijan Hoveyzeh Izeh Karun Khorramshahr Lali Masjed Soleyman Omidiyeh Ramhormoz Ramshir Shadegan Shush Shushtar Kohgiluyeh Boyer... Province Bahmai Basht Boyer-Ahmad Charam Dena Gachsaran Kohgiluyeh Landeh kurdistan Province Baneh Bijar Dehgolan Divandarreh Kamyaran Marivan Qorveh Sanandaj Saqqez Sarvabad Lorestan Province Aligudarz Azna Borujerd Delfan Dorud Dowreh Khorramabad Kuhdasht Pol-e Dokhtar Rumeshkhan Selseleh Markazi Province Arak Ashtian Delijan Farahan Khomeyn Khondab Komijan Mahallat Saveh Shazand Tafresh Zarandieh Mazandaran Province Abbasabad Amol Babol Babolsar Behshahr Chalus Fereydunkenar Galugah Juybar Kelardasht Mahmudabad Miandorud Neka Noor Northern Savad... Nowshahr Qaem Shahr Ramsar Sari Savadkuh Simorgh Tonekabon North Khorasan Province Bojnord Esfarayen Farooj Garmeh Jajarm Maneh and Sama... Raz and Jargalan Shirvan Qazvin Province Abyek Alvand Avaj Buin Zahra Qazvin Takestan Qom Province Qom Razavi Khorasan Province Bajestan Bakharz Bardaskan Dargaz Davarzan Fariman Firuzeh Gonabad Joghatai Kalat Kashmar Khaf Khalilabad Khoshab Mahvelat Mashhad Nishapur Quchan Rashtkhvar Sabzevar Sarakhs Torbat-e_Heydarieh Zaveh binalood chenaran joveyn taybad Semnan Province Aradan Damghan Garmsar Mehdishahr Meyami Semnan Shahrud Sorkheh Sistan and Balu... Province Chabahar Dalgan Fanuj Hamon Hirmand Iranshahr Khash Konarak Mehrestan Mirjaveh Nik Shahr Nimrooz Qasr-e Qand Sarbaz Sib and Suran Zabol Zahedan Zehak saravan South Khorasan Province Birjand Boshruyeh Darmian Ferdows Khusf Nehbandan Qaenat Sarayan Sarbisheh Tabas Zirkuh Tehran Province Baharestan Damavand Eslamshahr Firuzkuh Malard Pakdasht Pardis Pishva Qarchak Qods Rey Robat Karim Shahriar Shemiran Tehran Varamin West Azerbaijan Province Bukan Chaldoran Chaypareh Khoy Mahabad Maku Miandoab Naqadeh Oshnavieh Piranshahr Poldasht Salmas Sardasht Shahin Dezh Showt Takab Urmia yazd Province Abarkuh Ardakan Ashkezar Bafq Behabad Bahabad Khatam Mehriz Meybod Taft Yazd Zanjan Province Abhar Ijrud Khodabandeh Khorramdarreh Mahneshan Soltaniyeh Tarom Zanjan Tourist attracions Customs Goods And Crops Map and Distance Distance Iran Semnan Shahrud Bayazid Bastami Mosque Photos Description Map Route Tourist attractions Users posts Bayazid Bastami also known as Abu Yazid Bistami or Tayfur Abu Yazid al-Bustami, 804-874 or 877/8 CE was a Persian Sufi. He was born in Bastam, Iran. Bayazid Bastami RA who helped his successors and eager followers of Sufism to understand the concepts of Fana annihilation of the self in Allah and Baqa remaining in the existence of Allah. his tomb is located north of the mausoleum of Imamzadeh Mohammad in Bastam. The tomb of this great Gnostic is extremely simple in architecture. On the tomb is a slab of marble, engraved with sayings from Hazrat Ali AS Located on the outskirts of the village are two clusters of structures that were perhaps originally joined as one group. The larger building cluster includes the mausoleum of Bayazid; a Seljuk minaret and part of a Seljuk wall; the mausoleum of Imamzada Muhammad Bistam Mirza; two other tombs and oratories; an entrance iwan portal and corridor; an iwan portal opposite this; a madrasa built by Shah Rukh. Extant traces of pre-Seljuk construction indicate that work on the shrine of mystic Bayazid ...see more al-Bistami or 877 may have begun not long after his death. The minaret and a wall fragment of a mosque remain from the Seljuk period both now incorporated into the existing mosque, dated by an inscription to 514/1120. Repairs were undertaken during the reign of Ghazan Khan, and the mosque within the shrine complex was decorated with carved stucco. This work, and much of the work to follow, was undertaken by Muhammad ibn al-Husayn ibn Abi Talbod Damghan, including a fine mihrab inscribed with his name and the Date 699/1299. A second period of construction, also under Muhammad ibn al-Husayn is dated to the reign of Oljeitu and includes the addition of an eastern entrance portal and corridor; an iwan situated across the courtyard from this portal; and possibly includes the enclosing of the entire shrine complex. The entrance portal is formed of a tall arch with a semi-dome of muqarnas, the walls covered with faience and unglazed terracotta. Unlike typical contemporary examples of faience in western Iran which use smaller units of squares, rectangles and triangles in an interlocking geometry, at Bastam parallelepipeds or more complex forms with moulded elements in relief intersect to form borders. The iwan across the courtyard is decorated similarly. This iwan possibly once lead to a second courtyard that no longer exists. Reference to post comment you must Login [posttitle] [postbody] مشاهده مطلب Dear by editing your belief, all likes, will be lost. Do you want to continue?you can submit your belief only once, so you can edit your previous belief.Are you sure you want to remove your belief?YesNoYour belief has been successfully updatedSendyou have successfully removed your belief.Your Beliefs Sent Successfulthank you for your cooperation.have a problem to send data, please try again in later moement1NameTitleBeliefCommentYour post must not be more than 500 charactersAre you sure you want to remove your comment?you have successfully removed your comment.Your comment updated successfulEditDeleteWarning the sorce of this activity will be addad to your total scorces after calculation.Your browser is obsoleteTo observe the website accurately use the latest browser's versions The tilte cannot be emptyDear User To send data you must Login Are you sure you want to remove this dialogue?you have successfully removed dialogue.Your dialogue Sent SuccessfulDurable dialogue ofdialogue has been successfully updatedDistanceBetweenandFromToNo map has been traced for this routing yettimeYou should have at least one choice from the current listThanks toYou should just upload jpg/jpeg/png/gif/tif/bmp file!Your picture file size must be less than or equal to 2MB!Dear user, sending picture is allowed just for membersDirection from hereDirection to hereSubscriptionNewsletteruseryour e-mail is invalidCongratulations, you are now one of our Tishinehs' subscriber. Please look forward to receiving our mails.You have already registeredStatuswalkingcarPrintCongratulationDear user, your account information is insufficient. Please complete the form belowFirstName PersianLastName PersianSmaller mapLarger mapFix map on topShowing provincial boundaryProvinceBackChoose a citynew attractionDescriptionMoreRouteCountryChoose مژده! اولین ابرجستجوگر بلیط هواپیما سرویس جدید جستجوگر بلیط هواپیما ما بلیط نمی فروشیم! اما بهترین قیمت را برای شما از بین معتبرترین سایت های فروش بلیط هواپیما پیدا می کنیم. مشاهده کنید

Diceritakandari Abu Yazid Al busthami Rahimahullah, sesungguhnya beliau bermaksud untuk menziarahi seseorang lelaki yang terkenal dengan kesholehanny Dan di dalam pandangan Abu Yazid Al Bustami tentunya orang yang dianggap Sholeh, tentu tidak adab terhadap Syiarnya Allah swt, apalagi sekelas orang yang dibilang sholeh harusnya dia lebih
Syaikh Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Sarusyan al-Busthami lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Beliau adalah salah seorang Sulthanul Awliya, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada dalam silsilah tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Sadziliyah, dan beberapa tarekat lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb” …bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiyah.” Kakek Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah seorang penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Syaikh Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “Engkau yang masih berada di dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali.” Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Setelah sampai waktunya, si ibu mengirimkan Abu Yazid ke sekolah. Abu Yazid mempelajari Al Qur’an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari surat Lukman yang berbunyi, “Berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “Ijinkanlah aku untuk pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku.” Sang guru memberi ijin, Abu Yazid lalu pulang ke rumahnya. Ibunya menyambutnya dengan kata-kata, “Thoifur, mengapa engkau sudah pulang? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa?” “Tidak”, jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata-mata.” “Anakku”, jawab ibunya, “Aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah.” Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele di antara yang lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. “Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh karena itu, aku pergi ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa itu kemudian memberkati diriku. Kemudian terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tangaku kaku.” “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?” ibuku bertanya. “Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka.” “Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali.” Setelah si ibu memasrahkan anaknya pada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama 30 tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya, “Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.” “Jendela? Jendela yang mana?”, tanya Abu Yazid. “Telah sekian lama engkau belajar disini dan tidak pernah melihat jendela itu?” “Tidak”, jawab Abu Yazid, “Apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.” “Jika demikian”, kata sang guru,” kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai.” Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat tertentu ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Mekkah diartikan menghina kota Mekkah, karena itu segera ia memutar langkahnya. Abu Yazid berkata mengenai guru tadi, “Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah, niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya.” Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah mesjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu. Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, sesaat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis. “Mengapa engkau selalu berlaku demikian?” tanya salah seseorang kepadanya. “Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid”, jawabnya. Perjalanan Abu Yazid menuju Ka’bah memakan waktu dua belas tahun penuh. Hal ini karena setiap kali ia bersua dengan seorang pengkhotbah yang memberikan pengajaran di dalam perjalanan itu, Abu Yazid segera membentangkan sajadahnya dan melakukan sholat sunnah dua raka’at. Mengenai hal ini Abu Yazid mengatakan “Ka’bah bukanlah serambi istana raja, tetapi suatu tempat yang dapat dikunjungi orang setiap saat.” Akhirnya sampailah ia ke Ka’bah, tetapi ia tidak pergi ke Madinah pada tahun itu juga. Abu Yazid menjelaskan, “Tidaklah pantas berkunjung ke Madinah hanya sebagai pelengkap saja, saya akan mengenakan pakaian haji yang berbeda untuk mengunjungi Madinah.” Tahun berikutnya ia kembali menunaikan ibadah haji. Ia mengenakan pakaian yang berbeda untuk setiap tahap perjalanannya sejak mulai menempuh padang pasir. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang mengikutinya. “Siapakah orang-orang ini?”, ia bertanya sambil melihat kebelakang. “Mereka ingin berjalan bersamamu”, terdengar sebuah jawaban. “Ya Allah!”, Abu Yazid memohon, “Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hamba-Mu karenaku.” Untuk menghilangkan kecintaan mereka kepada dirinya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi mereka, maka setelah selesai melakukan sholat shubuh, Abu Yazid berseru kepada mereka, “Ana Allah ,Laa ilaha illa ana, Fa’budni.” Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka Sembahlah Aku.” “Abu Yazid sudah gila!”, seru mereka kemudian meninggalkannya. Abu Yazid meneruskan perjalanannya. Di tengah perjalanan, ia menemukan sebuah tengkorak manusia yang bertuliskan “Tuli, bisu, buta.. mereka tidak memahami.” Sambil menangis Abu Yazid memungut tengkorak itu lalu menciuminya. “Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi”, gumamnya, “Yang menjadi tauhid di dalam Allah… ia tidak lagi mempunyai telinga untuk mendengar suara abadi, tidak lagi mempunyai mata untuk memandang keindahan abadi, tidak lagi mempunyai lidah untuk memuji kebesaran Allah, dan tak lagi mempunyai akal walaupun untuk merenung secuil pengetahuan Allah yang sejati. Tulisan ini adalah mengenai dirinya.” Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya. “Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!”, seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, “Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban.” Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada di atas punggung onta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut. “Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!”, seru si pemuda. “Jika kusembunyikan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku”, kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan-kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?” MI’RAJ Abu Yazid mengisahkan, “Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluq-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku.” Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar. Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya. Aku bertanya, “Ya Allah, apakah ini?” Dia menjawab, “Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatupun juga kecuali Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud-Ku.” Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku. Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikitpun tidak tergoyahkan oleh karena adaku. Demikianlah Allah, Kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitasNya.” Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya. Kututup telinga dari derap perjuangan. lidah yang meminta-minta kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah kutuntut dan kubungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya. Di sana aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar. Allah menaruh belas kasih kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokanku. Untuk diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu aku berkata-kata kepada Allah, dengan pengetahuan Allah kuperoleh sebuah pengetahuan, dan dengan cahaya Allah aku menatap kepada-Nya. Allah berkata kepadaku, “Wahai engkau yang tak memiliki sesuatupun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah memiliki kekayaan.” “Ya Alloh.. Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepada-Mu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau.” Allah berkata, “Oleh karena itu perhatikanlah hukum-Ku dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar Kami berterima kasih akan segala jerih payahmu.” “Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri dari pada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya.” “Dari siapakah engkau belajar?”, tanya Allah. “Ia Yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya”, jawabku, “Karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab, Yang Dirasakan dan Yang Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya.” Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasan-Nya. Dia menerangi diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dia lah aku hidup dan karena kelimpahan-Nya lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku. “Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki”, kata Alloh. “Engkaulah yang kuinginkan”, jawabku, “Karena Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau.” Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia, “Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitaslah yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran.” “Jika aku telah melihat”, kataku pula, “Melalui Engkau-lah aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku mendengar.” Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepadaNya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku dapat melayang-layang memandangi alam kebesaranNya dan hal-hal menakjubkan dari ciptaanNya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku dengan perhiasan-perhiasanNya sendiri. Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan membuka pintu istana ketauhidan untukku. Setelah Ia melihat betapa sifat-sifatku tauhid ke dalam sifat-sifat-Nya, dihadiahkan-Nya kepadaku sebuah nama dari hadirat-Nya sendiri dan berkata-kata kepadaku dalam wujud-Nya sendiri. Maka terciptalah Tauhid Dzat dan punahlah perpisahan. “Kepuasan Kami adalah kepuasanmu”, kata-Nya, “Dan kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan tak seorang pun akan menghukummu karena ke-aku-anmu.” Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa cemburu, dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya, “Siapakah yang memiliki kerajaan ini.” “Engkau”, jawabku. “Siapakah yang memiliki kekuasaan?” “Engkau”, jawabku. “Siapakah yang memiliki kehendak?” “Engkau”, jawabku. Karena jawaban-jawabanku itu persis seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukkan-Nya kepadaku betapa jika bukan karena belas kasih-Nya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena cinta-Nya segala sesuatu telah dibinasakan oleh ke-Maha Perkasaan-Nya. Dia memandangku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium Yang Maha Memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat. Di dalam kemabukan itu setiap lembah kuterjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Kupacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada kepapaan dan tidak ada yang lebih baik dari ketidakberdayaan fana, red. Tiada pelita yang lebih terang daripada keheningan dan tiada kata-kata yang lebih merdu daripada kebisuan. Dan tiada pula gerak yang lebih sempurna daripada diam. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai ke akar-akarnya. Dia melihat betapa jasmani dan ruhaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikan-Nya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan. Kini telah kumiliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur ilahi, dan mata yang ditempa oleh tangan-Nya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaan-Nya lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, karena Dia lah Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupi, maka aku tidak akan pernah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan, ruh Islam. Aku tidak berbicara mengenai diriku sendiri sebagai seorang pemberi peringatan. Dia lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya, sedang aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku. Setelah memuliakan diriku Dia berkata, “Hamba-hamba-Ku ingin bertemu denganmu.” “Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka”, jawabku. “Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang kehendak-Mu. Hiaslah diriku dengan ke-esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini.” Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku. Setelah itu Dia berkata, “temuilah hamba-hamba-Ku itu.” Akupun berjalan selangkah menjauhi hadirat-Nya. Tetapi pada langkah yang kedua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah seruan, “Bawalah kembali kekasih-Ku kemari. Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalanpun yang diketahuinya kecuali jalan yang menuju Aku.” Setelah aku mencapai taraf tauhid Dzat – itulah saat pertama aku menatap Yang Esa – bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki bukit pemahaman. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari ke-esa-an dan dengan sayap keabadian. Terus menerus aku melayang-layang di angkasa kemutlakan. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, akupun berkata, “Aku telah sampai kepada Sang Pencipta. Aku telah kembali kepada-Nya.” Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pernah terulang di sepanjang zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam sifat-Nya yang luas, tiga puluh ribu tahun di dalam kemuliaan perbuatan-Nya, dan selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan Dzat-Nya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun, terlihat olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku sendiri. Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai di akhir penjelajahan itu terlihat olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini.” Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan. Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli?. Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad Saw, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku menjadi sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad. Kemudian Abu Yazid berkata, “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?” Maka terdengarlah perintah, “Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad, si orang Arab. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya. Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku ke dalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata, “Aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak Muhammad. PERANG TANDING ANTARA ABU YAZID DAN YAHYA BIN MU’ADZ Yahya bin Mu’adz – salah seorang tokoh sufi, waliyullah jaman itu, menulis surat kepada Abu Yazid, “Apakah katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?” “Aku tidak tahu. Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga.”, jawab Abu Yazid. Yahya bin Mu’adz menyurati lagi, “Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu.” Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan, “Syaikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zam-zam.” Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya itu, “Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingat-Nya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba, tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang telah mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan.” Maka Yahya bin Mu’adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu sholat Isya’. Yahya berkisah sebagai berikut, “Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya di tempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang sholat Isya’. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini. Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berkata di dalam do’anya, “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini.” Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab, “Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satupun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutakan mata.” “Guru, mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja diantara raja yang pernah berkata, “Mintalah kepada-Ku segala sesuatu yang engkau kehendaki?”, Yahya bertanya. “Diamlah!”, sela Abu Yazid, “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya, apakah peduliku. Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya. Yahya bermohon, “Demi keagungan Allah.. Berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi.” “Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu. Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu”, jawab Abu Yazid. Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir ke pinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu. Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata, “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah “Raja diantara kaum mistik”, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu?” Abu Yazid menjawab, “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku, Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?’. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan karena itulah aku memberi jalan kepadanya.” Suatu ketika Abu Yazid melakukan perjalanan menuju Ka’bah di Makkah, tetapi beberapa saat kemudian ia pun kembali lagi. “Di waktu yang sudah-sudah engkau tidak pernah membatalkan niatmu. Mengapa sekarang engkau berbuat demikian?”, tanya seseorang kepada Abu Yazid. “Baru saja aku palingkan wajahku ke jalan, terlihat olehku seorang hitam yang menghadang dengan pedang terhunus dan berkata, Jika engkau kembali, selamat dan sejahteralah engkau. Jika tidak, akan kutebas kepalamu. Engkau telah meninggalkan Allah di Bustham untuk pergi ke rumah-Nya'”, jawab Abu Yazid. Hatim Tuli – salah seorang waliyullah masa itu – berkata kepada murid-muridnya, “Barangsiapa di antara kamu yang tidak memohon ampunan bagi penduduk neraka di hari berbangkit nanti, ia bukan muridku.” Perkataan Hatim ini disampaikan orang kepada Abu Yazid, kemudian Abu Yazid menambahkan, “Barang siapa yang berdiri di tebing neraka dan menangkap setiap orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, kemudian mengantarnya ke surga lalu kembali ke neraka sebagai pengganti mereka, ia adalah muridku.” ABU YAZID DAN SEORANG MURIDNYA Ada seorang pertapa di antara tokoh-tokoh suci terkenal di Bustham. Ia mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau. Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, “Pada hari ini genaplah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do’a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu.” “Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramah-ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati.” “Mengapa demikian?”, tanya si murid. “Karena matamu tertutup oleh dirimu sendiri”, jawab Abu Yazid. “Apakah yang harus kulakukan?”, tanya si murid pula. “Jika kukatakan, pasti engkau tidak mau menerimanya”, jawab Abu Yazid. “Akan kuterima!. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuahkan.” “Baiklah!”, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan ini dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang di lehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka, “Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku.” Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan.” “Maha Besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah”, cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu. “Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim”, kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah.” “Mengapa begitu?”, tanya si murid. “Karena engkau merasa bahwa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah?”. “Saran-saranmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saran-saran yang lain”, si murid keberatan. “Hanya itu yang dapat kusarankan”, Abu Yazid menegaskan. “Aku tak sanggup melaksanakannya”, si murid mengulangi kata-katanya. “Bukankah telah aku katakan bahwa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku”, kata Abu Yazid. “Engkau dapat berjalan di atas air”, orang-orang berkata kepada Abu Yazid. “Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu”, jawab Abu Yazid. “Engkau dapat terbang di angkasa”. “Seekor burung pun dapat melakukan itu.” “Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam satu malam.” “Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.” “Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapapun dan apapun kecuali kepada Allah.” Abu Yazid ditanya orang, “Bagaimanakah engkau mencapai tingkat kesalehan yang seperti ini?” “Pada suatu malam ketika aku masih kecil, aku keluar dari kota Bustham. Bulan bersinar terang dan bumi tertidur tenang. Tiba-tiba kulihat suatu kehadiran. Di sisinya ada delapan belas ribu dunia yang tampaknya sebagai sebuah debu belaka. Hatiku bergetar kencang lalu aku hanyut dilanda gelombang ekstase yang dahsyat. Aku berseru “Ya Allah, sebuah istana yang sedemikian besarnya tapi sedemikian kosongnya. Hasil karya yang sedemikian agung tapi begitu sepi?” Lalu terdengar olehku sebuah jawaban dari langit, “Istana ini kosong bukan karena tak seorang pun memasukinya tetapi Kami tidak memperkenankan setiap orang untuk memasukinya. Tak seorang manusia yang tak mencuci muka-pun yang pantas menghuni istana ini.”, jawab Abu Yazid. “Maka aku lalu bertekat untuk mendo’akan semua manusia. Kemudian terpikirlah olehku bahwa yang berhak untuk menjadi penengah manusia adalah Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu aku hanya memperhatikan tingkah lakuku sendiri. Kemudian terdengarlah suara yang menyeruku, “Karena engkau berjaga-jaga untuk selalu bertingkah laku baik, maka Aku muliakan namamu sampai hari berbangkit nanti dan umat manusia akan menyebutmu. RAJA PARA MISTIK Abu Yazid menyatakan, “Sewaktu pertama kali memasuki Rumah Suci Ka’bah, yang terlihat olehku hanya Rumah Suci itu. Ketika untuk kedua kalinya memasuki Rumah Suci itu, yang terlihat olehku adalah Pemilik Rumah Suci. Tetapi ketika untuk ketiga kalinya memasuki Rumah Suci, baik si Pemilik maupun Rumah Suci itu sendiri tidak terlihat olehku.” Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya, “Anakku, siapakah namamu?” Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid, “Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku.” “Anakku.. Aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku”, Abu Yazid menjawab. Abu Yazid mengisahkan Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah pikiran ke dalam benakku bahwa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan diriku. Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat olehku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku. “Sejauh ini engkau memanggilku”, katanya,”Hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?” “Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu, “Dari manakah engkau datang?” “Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu mil yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan, “Berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!” Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu. MASA AKHIR Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Allah ke hadhirat-Nya. Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Allah itu, Abu Yazid mengenakan sebuah ikat pinggang yang lantas diputuskannya pula. Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat shalat dan mengenakan sebuah ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara terbalik. Kemudian ia berkata kepada Allah “Ya Allah, aku tidak membanggakan disiplin diri yang telah kulaksanakan seumur hidupku, aku tidak membanggakan shalat yang telah kulakukan sepanjang malam. Aku tidak menyombongkan puasa yang telah kulakukan selama hidupku. Aku tidak menonjolkan telah berapa kali aku menamatkan Al Qur’an. Aku tidak akan mengatakan pengalaman-pengalaman spiritual khususku yang telah kualami, do’a- do’a yang telah kupanjatkan dan betapa akrab hubungan antara Engkau dan aku. Engkau pun mengetahui bahwa aku tidak menonjolkan segala sesuatu yang telah kulakukan itu. Semua yang kukatakan ini bukanlah untuk membanggakan diri atau mengandalkannya. Semua ini kukatakan kepada-Mu karena aku malu atas segala perbuatanku itu. Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu sehingga aku dapat mengenal diriku sendiri. Semuanya tidak berarti, anggaplah itu tidak pernah terjadi. Aku adalah seorang Torkoman yang berusaha tujuh puluh tahun dengan rambut yang telah memutih di dalam kejahilan. Dari padang pasir aku datang sambil berseru-seru, Tangri-Tangri’ Baru sekarang inilah aku dapat memutus ikat pinggang ini. Baru sekarang inilah aku dapat melangkah ke dalam lingkungan Islam. Baru sekarang inilah aku dapat menggerakkan lidahku untuk mengucapkan syahadat. Segala sesuatu yang Engkau perbuat adalah tanpa sebab. Engkau tidak menerima umat manusia karena kepatuhan mereka dan Engkau tidak akan menolak mereka hanya karena keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku karena aku pun telah membasuh debu kelancangan karena mengaku telah mematuhi-Mu. Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.

PengalamanAbu Yazid al-Bustami yang ucapannya (pada saat sukr) kadang-kadang sulit dipahami oleh orang awam, menyebabkan sebagian ulama menentangnya, sehingga ia sementara waktu pernah mengasingkan diri di Bistam. Ia pun meninggal di tempat pengasingannya.260H. /874M. makamnya yang terletak di tengah kota itu, banyak diziarahi pengunjung.

PituahSyekh Abu Yazid Al-Busthami Kepada Muridnya Yang Sombong Dan Hikmah Dibalik Ajaran Melepas Keakuan ! Oleh : Raden Syair Langit ( Abah Leuweunggede ) Ada sebuah certia dari seribu cerita indah pada Syekh Abu Yazid Al-Busthami, yang insya Allah dapat kita ambil pelajarannya. Hw7WK.
  • kytrkwh8v9.pages.dev/452
  • kytrkwh8v9.pages.dev/718
  • kytrkwh8v9.pages.dev/831
  • kytrkwh8v9.pages.dev/70
  • kytrkwh8v9.pages.dev/614
  • kytrkwh8v9.pages.dev/146
  • kytrkwh8v9.pages.dev/612
  • kytrkwh8v9.pages.dev/667
  • kytrkwh8v9.pages.dev/569
  • kytrkwh8v9.pages.dev/8
  • kytrkwh8v9.pages.dev/41
  • kytrkwh8v9.pages.dev/795
  • kytrkwh8v9.pages.dev/951
  • kytrkwh8v9.pages.dev/467
  • kytrkwh8v9.pages.dev/423
  • syair abu yazid al bustami